"Mengenal Penerbit Indie"
Pertemuan Ke : 17
Hari/Tanggal :
Rabu, 27 September 2022
Tema :
Mengenal Penerbit Buku.
Moderator :
Helwiyah
Narasumber :
Mukminin, S.Pd. M.Pd
Salam satu pena.
Alahmdulillah Kegiatan belajar menulis telah sampai pada
pertemuan ke 17.Pada kesempatan kali ini kita akan diperkenalkan oleh
narasumber bagaimana cara menerbitkan atau mencetak hasil tulisan kita dalam
bentuk sebuah buku. kalau kita sudah mengenal industri penerbit buku apalagi
buku yang kita terbitkan ber ISBN.
Nara sumber kita malam ini
"Mukminin, S.Pd, M.Pd '
Dalam materi " Mengenal Penerbit Indie"
Guru yg hebat adalah Guru yg berkarya dg bukti menerbitkan
buku.
Beliau adalah Mukminin, S.Pd.,M.Pd. Lahir di Jombang, 6 Juli
1965. Dari pasangan Sukarno + Suwati (Alm.)
Lulusan SDN dan SMP Segodorejo
Sumobito 1979, Lulus SPN Jombang 1985,
Lulus D2 IKIP NEGERI Surabaya
th.1987. Lulus S 1 IKIP PGRI Tuban 1998. Lulus S 2 UNISDA LAMONGAN 2012.
Jurusan Bahasa dan Sarta Indonesia.
Beliau Alumni BM PGRI di gel.8 bersama Bu Noralia Purwa Yunita, Bu Musiin, Pak
Yulius Roma Patandean, Pak Suharto ( Cing Ato) penulis hebat dan produktif, Bu
Aam Nurhasanah, Mayor Nani Kusmayanti dari AL,
dan bayak lagi tidak bisa saya menyebutkan semuanya Krn lebih
kurang 200 orang.
Beliau mengikuti pelatihan 30 kali pertemuan bersama Narsum
hebat PGRI maka lahirlah buku resume yg sekarang terjual laris manis
"Jurus Jitu Menjadi Penulis Handal Bersama Pakar" dengan kata Pengantar Dr. Ngainun Naim alhamdulillah
1 bulan yg lalu dilantik dan dikukuhkan menjadi guru besar Prof. Ngainun Naim (Dosen UIN
Syahid Ali Rahmatullah, Tulungagung).
Pada zaman melinial ini semua orang bisa menulis dan menerbitkan buku. Baik
sebagai pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dosen, maupun wiraswasta. Menulis
dan menerbitkan buku itu mudah, tidak serumit yg kita bayangkan. Apalagi kita
sebagai seorang guru pasti bisa menulis baik fiksi maupun karya ilmiah. Guru
memiliki banyak kisah dan pengalaman
inspiratif tersebut perlu kita tulis dan terbitkan buku menjadi yg bermanfaat bg orang lain/ pembaca.
Untuk bisa terlatih menulis memang butuh ketekunan dan
perjuangan. Selain itu, perlu juga tekad dan motivasi tinggi agar tidak goyah
saat menjalani proses menulis.
Berbicara motivasi, ada banyak kata-kata agar kamu terus
semangat menulis. Melalui kata-kata mutiara tentang menulis bisa menjadi
motivasi agar sukses dalam berkarya.
Kata-kata Mutiara semoga motivasi diri:
1."Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah
sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak". - Ali bin Abi
Thalib
2. "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak
ulama besar, maka jadilah penulis". - Imam Al-Ghazali
Untuk mewujudkan itu
memang butuh ketekunan,
perjuangan dan juga tekad serta
motivasi tinggi agar tidak goyah saat menjalani proses menulis.
Agar Anda terus
semangat menulis. Melalui kata-kata mutiara tentang menulis bisa menjadi
motivasi agar sukses dalam berkarya.
Itulah untaian mutiara narasumber yg bisa memotivasi kita
dalam menulis. sekarang kita simak pemaparan narasumber dalam memahami menulis
dan menerbitkan buku.
MEMAHAMI MENULIS DAN MENERBITKAN BUKU
Tahapan Cara Menulis dan Menerbitkan Buku yang Tepat.
Seorang yang ingin
bisa menulis dan menerbitkan buku, maka perlu memahami tahapan
menerbitkan buku.
Ada 5 tahapan yg harus dilalui:
1. Prawriting
a.. Tahap awal
penulis mencari ide apa yang akan ditulis dengan peka terhadap sekitar ( Pay
attention).
b. Penulis harus kreatif menangkap fenomena yg terjadi di
sekitar untuk menjadi tulisan.
c. Penulis banyak
membaca buku.
2. Drafting
Penulis mulai menulis naskah buku sesuai yang dengan apa yang disukai ( pasion). Boleh
menulis artikel, cerpen, puisi, novel dan sebagainya dg penuk kreatif merangkai
kata, menggunakan majas, dan berekpresi untuk menarik pembaca.
3. Revisi
Setelah naskah selesai maka kita lakukan revisi naskah.
Merevisi tulisan mana yang baik dicantumkan, naskah mana yang perlu
dibuang, naskah mana yg perlu
ditambahkan.
4. Editting/ Swasunting
Setelah naskah kita revisi maka masuk tahapan editting.
Penulis melakukan pengeditan. Hanya memperbaiki berbagai kesalahan tanda baca,
kesalahan pada kalimat. Tahap ini boleh dikatakan sebagai
"Swasunting" yaitu menyunting tulisan sendiri sebelum masuk penerbit,
kan malu kalau banyak kesalahan. Maka penulis dituntut untuk memiliki kemampuan
bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EBBI.
5. Publikasi
Jika tulisan Anda yg berupa naskah buku sudah yakin maka
Anda memasuki tahap Publikasi atau penerbitan
buku.
Setelah memahami cara menulis, Narasumber memaparkan
penerbit untuk menerbitkan hasil karya tulis kita menjadi sebuah buku.
Narasumber menjelaskan mengenai penerbit Independen (
penerbit Indie). Di dalam grup ini ada 3 peberbit indie:
·
Oase
·
Gemala
·
YPTD dan
·
Kamlia
Press Lamongan.
Nah, sebelum menerbitkan buku marilah kita cari tahu tentang
penerbit.
Penerbit Mayor dan
Penerbit Indie
Bapak ibu sekalian yg hebat, penerbit buku ada 2 macam.
Pertama penerbit Mayor dan kedua penerbit Indhie. Apa perbedaanya? mari kita
ikuti uraian berikut ini :
1. Jumlah Cetakan.
# Penerbit mayor
mencetak bukunya secara masal. Biasanya cetakan pertama sekitar 3000
eksemplar atau minimal 1000 eksemplar untuk dijual di toko-toko buku.
#Penerbit indie : hanya mencetak buku apabila ada yang
memesan atau cetak berkala yang dikenal dengan POD ( Print on Demand) yang
umumnya didistribusikan melalui media online Facebook, Twitter, Instagram,
Youtube, WA grup dll.
2. Pemilihan Naskah
yang Diterbitkan
# Penerbit mayor :
Naskah harus melewati beberapa tahap prosedur sebelum
menerbitkan sebuah naskah. Tentu saja, menyambung dari poin yang pertama,
penerbit mayor mencetak bukunya secara masal 1000 - 3000 eksemplar. Mereka
ekstra hati-hati dalam memilih naskah yang akan mereka terbitkan dan tidak akan
berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima.
Penerbit mayor memiliki syarat yang semakin ketat, harus mengikuti selera
pasar, dan tingginya tingkat penolakan.
# Penerbit indie :
Tidak menolak naskah. Selama naskah tersebut sebuah karya
yang layak diterbitkan; tidak melanggar undang-undang hak cipta karya sendiri,
tidak plagiat, serta tidak menyinggung unsur SARA dan pornografi, naskah
tersebut pasti kami terbitkan. Kami adalah alternatif baru bagi para penulis
untuk membukukan tulisannya.
3. Profesionalitas
# Penerbit mayor :
Penerbit mayor tentu saja profesional dengan banyaknya
dukungan sumber daya manusia di
perusahaan besar mereka.
# Penerbit indie : kami pun profesional, tapi sering disalah
artikan. Banyak sekali anggapan menerbitkan buku di penerbit indie asal-asalan,
asal cetak-jadi-jual. Sebagai penulis, harus jeli memilih siapa yang akan jadi
penerbit Bapak Ibu dan Saudara-saudara. Jangan tergoda dengan paket penerbitan
murah, tapi kualitas masih belum jelas. Mutu dan manajemen pemasaran buku bisa
menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Kadang murah Cover kurang
bagus, kertas dalam coklat kasar bukan bookpaper ( kertas coklat halus). Kami
jaga mutu Cover bagus cerah mengkilat isi buku kertas cokal halus awet (
bookpapar).
4. Waktu Penerbitan
# Penerbit mayor :
Pada umumnya sebuah naskah diterima atau tidaknya akan
dikonfirmasi dalam tempo 1-3 bulan. Jika naskah diterima, ada giliran atau
waktu terbit yang bisa cepat, tapi ada juga yang sampai bertahun-tahun. Karena
penerbit mayor adalah sebuah penerbit besar, banyak sekali alur kerja yang
harus mereka lalui. Bersyukur kalau buku bisa cepat didistribusikan di semua
toko buku. Namun, jika dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai
target, maka buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit.
# Penerbit indie :
Tentu berbeda kami
akan segera memproses naskah yang kami terima dengan cepat. Dalam hitungan
minggu bukumu sudah bisa terbit. Karena memang, kami tidak fokus pada selera
pasar yang banyak menuntut ini dan itu. Kami menerbitkan karya yang penulisnya
yakin karya tersebut adalah karya terbaiknya dan layak diterbitkan sehingga
kami tidak memiliki pertimbangan rumit dalam menerbitkan buku.
5. Royalti
# Penerbit mayor :
kebanyakan penerbit mayor mematok royalti penulis maksimal
10% dari total penjualan. Biasanya dikirim kepada penulis setelah mencapai
angka tertentu atau setelah 3-6 bulan penjualan buku.
# Penerbit indie :
umumnya 15-20% dari
harga buku. Dipasarkan dan dijual penulis lewat fb, Instagram, wa grup,
Twitter, status, dll
6. Biaya penerbitan
# Penerbit mayor :
Biaya penerbitan gratis. Itulah sebabnya mereka tidak bisa
langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus
oleh mereka. Seperti yang sudah disebut di atas, penerbit mayor memiliki
pertimbangan dan tuntutan yang banyak untuk menerbitkan sebuah buku karena jika
buku tersebut tidak laku terjual, kerugian hanya ada di pihak penerbit.
# Penerbit indie :
Berbayar sesuai dg aturan masing-masing penerbit. Antara
penerbit satu dengan yang lain berbeda.
Karena pelayanan dan mutu buku yg diterbitkan tidak sama.
Setelah kita tahu perbedaan kedua jenis penerbit itu,
kayaknya saya penulis pemula memilih Pernerbit indie deh. tapi bagaimana dengan
para bloger mania silahkan pilih penerbit yang disukai.
Narasuber menjelaskan bahwa penerbit Independen ( penerbit
Indie) yg banyak disuka. salah satunya adalah CV Kamlia Press Lamongan.
Penerbitan KAMILA PRESS LAMONGAN melayani cetak buku, dengan jasa ISBN, editing,
Lay out, dan design cover
buku dengan harga terjangkau.
Syarat-syarat penerbitan di KAMILA PRESS LAMONGAN:
1. Kirimkan naskah lengkap mulai judul, kata pengantar,
daftar isi, naskahdaftar isi, daftar pustaka, biodata penulis dg fotonya dan
Sinopsis
2. Ketik A5 ukurannya
14,8 x 21 cm, spasi 1,15 ukuran fon 11 dan margin kanan 2 cm, kiri 2 cm, atas 2
cm dan bawah 2 cm. Gunakan huruf Arial, calibri atau Cambria dan masukkan dalam 1 file kirim ke WA
sy atau email gusmukminin@gmail.com Atau email: kamilapresslamongan24@yahoo.com
Ini fasilitasnya:
Dibuatkan cover buku,
layout, Edit, sertifikat Penulis buku, PO buku. Dapat buku ISBN sesuai pesanan.
Cetak 10 dapat 10 buku yg 2 buku ke PERPUSNAS tanggung jawab Kamila Press.
Karya yg mau cetak
Nasakahnya dlm word
Urut : judul, kata pengantar, daftar isi, naskah sesuai
urutan isi, Daftar pustaka jika ada, sinopsis, dan foto dan biodata penulis
Harga Penerbitan buku di Kamila Press Lamongan ( harga
sewaktu-waktu bisa berubah).
✓ Biaya Cetak buku A5, kertas Bookpapar (coklat halus) atau HVS
putih
(termasuk biaya ISBN, Layuot, edit, cover buku, PO buku,
sertifikat). cetak 10 buku mulai 1 SEPTEMBER 2022.
CETAK BUKU A5:
A. 60 halaman: Cetak
10 buku/ eksp. = 645.000 + Ongkir
B. 70 hlm: Cetak 10
buku = 665.000 + Ongkir
C. 85 hlm : Cetak 10 buku = 673.000 + Ongkir
D. 90 hlm: Cetak 10
Buku = 728.000 + Ongkir
E. 100 hlm: Cetak 10.Buku = 738.000 + Ongkir
F. 125 hlm: Cetak 10
= 764.000 + Ongkir
G. 150 hlm= Cetak 10 buku = 815.000 + Ongkir
H. 200 hlm: Cetak 10
buku = 855.000 + Ongkir
I. 250 hlm: Cetak 10
buku = 915.000 + Ongkir
J. 300 hlm: Cetak 10
buku = 970.000 + Ongkir
H. 350 hlm. Cetak 10 buku = 1.120.000 + Ongkir
I. 400 hlm. Cetak 10 buku = 1.170.000 + Ongkir
J. 450 hlm. Cetak 10 buku = 1.220.000 + Ongkir
K. 500 hlm. Cetak 10 = 1.270.000 + Ongkir
# SETELAH CETAK 10
BUKU DENGAN JUMLAH HALAMAN DAN HARGA TERSEBUT, MAKA Lebihnya dihitung harga
cetak ulang ( CETAKAN BUKU KE-11 dst.):
1. Cetak buku 60 hlm
Harga @ 22.000
2. Cetak buku 70-75
hlm harga @23.000
3. Cetak buku 100 hlm. Harga @ 25. 000
4. Cetak buku 140 hlm harga @ 30.000
5. Cetak buku 150 hlm @ 31.000
6. Cetak buku 250
hlm. Harga @ 42.000
7. Cetak buku 300
hlm. Harga @ 47.000
8. Cetak 320 hlm. Harga @ 48.000
9. Cetak 340 hlm. Harga @ 50.000
10.Cetak 360 hlm. Harga
@ 52.000
11. Cetak 380 hlm. Harga
@ 55.000
12. Cetak 400 hlm. Harga @
57.000
13. Cetak 420 hlm. Harga @
59.000
14. Cetak 440 hlm. Harga @
62.000
15. Cetak 480 hlm. Harga @
65.000
16. Cetak 500 hlm. Harga @ 67.000
PLUS ONGKIR!
Smg bermanfaat!
"Ayo bloger mania Terbitkan Buku untuk Anak Cucu
Kita"
Berikut karya buku yang sudah diterbitkan
INFORMASI PENTING DARI ISBN untuk kita semua bloger mania.
SALAM INSAF, SEKALI LAGI TENTANG ISBN
---
Kamis, 14 April 2022, saya memenuhi undangan diskusi ISBN di
Perpusnas RI (Jalan Salemba). Ada sedikit "oleh-oleh" informasi untuk
lebih memahami tentang ISBN.
Jadi, jika beberapa waktu kemarin ISBN sempat tertunda,
ternyata Perpusnas RI sebagai agensi ISBN internasional di Indonesia
mendapatkan teguran dari Badan ISBN internasional. Teguran diikuti dengan
instruksi penundaan sementara pemberian ISBN dari Badan ISBN internasional yang
berpusat di London, Inggris.
Mengapa hal tersebut terjadi?
KETIDAKWAJARAN PRODUKSI BUKU INDONESIA
Produksi judul buku di Indonesia dianggap tidak wajar dalam
beberapa tahun terakhir. Tahun 2020 saat pandemi mulai melanda, buku yang
diberi ISBN mencapai 144.793 judul, sedangkan tahun 2021 mencapai 63.398 judul.
Perlu diketahui Indonesia mendapatkan nomor khas blok ISBN
adalah 978-623 dengan jatah ISBN sebanyak 1 juta ISBN. Diperkirakan nomor itu
akan habis dalam rentang waktu lebih dari 10 tahun. Beberapa negara
menghabiskan angka 1 juta itu lebih dari 15 tahun, bahkan 20 tahun.
Alokasi 1 juta nomor itu diberikan kepada Indonesia terakhir
tahun 2018, tetapi tahun 2022 pemberian ISBN sudah membengkak lebih dari 50%
mencapai 623.000 judul.
Bayangkan hanya tersisa 377.000 nomor lagi. Jika rata-rata
Indonesia menerbitkan 67.340 judul buku per tahun (sebagaimana data Perpusnas
RI, 2021), nomor itu akan tersisa sekira untuk enam tahun lagi.
Produksi judul buku yang sangat produktif ini memang seperti
menyiratkan kemajuan literasi kita. Namun, sekali lagi jumlah besar itu tidak menyuratkan
mutu buku. Jumlah besar itu juga berbanding terbalik dengan pendapatan penerbit
yang pertumbuhannya terus menurun berdasarkan data Ikapi.
Sebagai fakta, di negara-negara maju saat pandemi Covid-19,
penjualan buku (baik cetak maupun elektronik) meningkat gratis. Orang memborong
buku untuk kegiatan di rumah. Namun, kondisi itu tidak terjadi di Indonesia.
Penjualan buku terjun bebas nyaris ke titik nadir.
PUBLIKASI YANG RELEVAN DIBERI ISBN
Lonjakan pengajuan ISBN tersebut ditengarai juga akibat
banyaknya publikasi yang tidak patut diberi ISBN, dimintakan ISBN-nya, termasuk
oleh lembaga negara. Di sini kita perlu mendefinisikan kembali apa yang disebut
buku.
Tidak semua publikasi dalam bentuk buku relevan atau layak
diberi ISBN, apalagi publikasi yang bukan termasuk buku. Buku merupakan media
massa dengan sifat publikasi tidak berkala (tidak secara periodik diterbitkan).
Buku yang relevan diberi ISBN adalah buku yang berada pada
rantai pasok industri buku. Ciri ini dapat disederhanakan sebagai berikut.
1. Buku tersedia untuk publik secara luas dan dapat diakses,
baik secara gratis maupun berbayar.
2. Buku diperjualbelikan dalam jumlah yang banyak. UNESCO
pernah membuat batasan minimal 50 eksemplar.
Karena itu, ISBN relevan digunakan sebagai basis metadata
untuk memperlancar rantai pasok penerbitan buku. Ia berguna di hilir industri
buku untuk mengidentifikasi buku.
Publikasi dalam bentuk laporan tahunan, laporan kegiatan,
dan publikasi lainnya yang bersifat selingkung (terbatas) serta tidak tersedia
untuk diakses, apalagi tidak diperjualbelikan maka tidak relevan diberi ISBN.
Demikian pula buku-buku yang terbit sekadar menggugurkan
kewajiban untuk penilaian angka kredit/kenaikan pangkat. Buku-buku itu sering
kali dicetak hanya beberapa eksemplar. Tentu buku seperti ini tidak relevan
diberi ISBN.
Mari insaf bersama untuk tidak meng-ISBN-kan semua publikasi
dan tidak meng-ISBN-kan semua buku. Buku tidak ber-ISBN bukan berarti tidak sah
sebagai buku.
DI INDONESIA SEMUA DI-ISBN-KAN
Ada kecenderungan individu atau organisasi meng-ISBN-kan
semua publikasi yang diterbitkan. Berikut ini contohnya.
Ringkasan kebijakan (policy brief) dibukukan dan
di-ISBN-kan. Laporan KKN mahasiswa di-ISBN-kan. Laporan kegiatan di-ISBN-kan.
Skripsi, tesis, disertasi tanpa konversi di-ISBN-kan. Orasi ilmiah di-ISBN-kan
tanpa konversi. Prosiding di-ISBN-kan tanpa melihat apakah seminarnya berkala
atau tidak.
Beberapa sekolah membuat kegiatan literasi untuk siswanya.
Siswa didorong menulis cerita atau puisi lalu dikumpulkan dalam bentuk
antologi. Buku antologi itu dicetak terbatas sejumlah siswa dan sisa beberapa
eksemplar untuk dokumentasi sekolah. Buku semacam ini tidak relevan diberi
ISBN. Toh, untuk apa ISBN itu bagi sekolah?
Demam ISBN ini tampaknya didorong oleh persepsi keliru bahwa
buku yang ber-ISBN- lebih keren karena mendapat pengakuan internasional. Buku
ber-ISBN lebih afdol sebagai buku yang profesional. Buku ber-ISBN menunjukkan
pemenuhan standar mutu. Padahal, tidak ada hubungan sama sekali.
Memang ada kebijakan mutu pemberian ISBN seperti dilakukan
oleh Council of Europe. Lembaga ini memberlakukan kebijakan tentang pemberian
ISBN untuk publikasinya. Mereka menetapkan buku ber-ISBN harus memenuhi standar
mutu dari Council of Europe.
Demikian pula yang pernah diberlakukan oleh LIPI Press
(sekarang Penerbit BRIN) ketika ada peneliti yang meminta ISBN. LIPI Press
bukan pemberi ISBN. Jika buku hendak diterbitkan oleh LIPI Press atau
menggunakan ISBN LIPI Press, buku harus memenuhi standar mutu LIPI Press. Colek
Fadly Suhendra.
Demam ISBN ini terutama melanda perguruan tinggi dengan
membuat aturan publikasi harus ber-ISBN meskipun publikasi itu bersifat
internal atau terbatas. Sungguh terlalu, tidak relevan.
Publikasi berupa bahan ajar berbentuk buku yang hanya
digunakan terbatas di lingkungan kampus tersebut, apalagi memang tidak
diperjualbelikan secara bebas, tidak relevan menggunakan ISBN.
BEBERAPA SOLUSI
Diskusi ISBN ini menarik sebagai salah satu permasalahan
publikasi di Indonesia yang kerap juga dikait-kaitkan dengan literasi. Kini,
Perpusnas RI masih "menahan" sekira 5.000 pengajuan ISBN. Penundaan
ini dilakukan karena beberapa hal yang mencuat dalam diskusi.
Eksistensi penerbit memang dipertanyakan. Apakah yang
mengajukan ini benar-benar penerbit atau bukan?
Salah satu jalan yang sedang disiapkan oleh Pusat Perbukuan
adalah akreditasi penerbit. Ini mungkin
solusi ke depan bagi Perpusnas untuk menyeleksi penerbit pengaju ISBN hanya
penerbit yang terakreditasi.
Salah satu sifat manusia Indonesia itu memang kreatif.
Syarat sebuah penerbit, seperti menjadi anggota asosiasi dan melampirkan
legalitas usaha, mudah untuk diakali. Namun, sebenarnya sang penerbit sama
sekali tidak punya roh sebagai penerbit buku. Ini banyak terjadi.
Jika dikaitkan dengan mutu dan profesionalitas, muncul
gagasan apakah perlu pengaju ISBN dari sisi penulis dan editor menyertakan
sertifikat kompetensi? Ini masih sebatas wacana dan salah satu cara menyeleksi
pengaju ISBN.
PENGINSAFAN MASSAL
Penginsafan massal memang diperlukan bukan hanya soal ISBN,
melainkan juga soal lain sebagai fundamental penerbitan buku. Kalau kata Kang
Arys Hilman, Ketum Ikapi, saya ini ibarat penjaga hulu penerbitan.
Hulu penerbitan itu seperti ISBN ini dan persoalan mutu
buku, termasuk yang tampak "remeh temeh" seperti anatomi buku. Pak BT
memang sibut mengurusi perbedaan 'kata pengantar' dan 'prakata'. Hehehe itu
sebagian hobi saya. Biarlah hulu ini ada yang memikirkannya.
Banyak hari-hari saya kini dihabiskan untuk menyusun regulasi
dan pedoman di Pusat Perbukuan, pun di Badan Bahasa. Lalu, kini saya sedikit
terlibat di Perpusnas.
Betul bahwa persoalan di hilir juga penting yakni bagaimana
buku terjual dan penerbit dapat memperpanjang napasnya. Saya memaklumi
"shifting" yang dilakukan penerbit pada saat disrupsi.
Pendapatan penerbit tradisonal utama adalah dari penjualan
buku, termasuk penjualan dalam proyek pemerintah. Begitu terjadi disrupsi,
penerbit mulai beralih pada penjualan konten (di luar buku). Lalu, terjadi lagi
disrupsi, penerbit beralih pada model bisnis jasa penerbitan (penerbitan
berbayar alias vanity publishing).
Hari-hari saya sekira satu dekade lalu banyak dihabiskan di
hilir penerbitan. Saya merasakan aura dinamis penjualan dan pameran buku sejak
tahun 1990-an. Berjibaku dengan arus kas penerbitan, berjibaku dengan gagasan
penerbitan, dan berjibaku dengan aktivitas pemasaran buku telah membentuk
pengalaman kukuh tentang penerbitan buku.
Sekali-sekali saya merasa bangga dapat melahirkan buku-buku
yang layak dilabeli best seller nasional. Buku The True Power of Water,
Setengah Isi Setengah Kosong, Api Sejarah merupakan beberapa buku yang lekat
dalam ingatan saya. Namun, hari-hari itu kini saya tinggalkan.
Ilmu ini tidak dapat diperoleh di pendidikan formal. Ilmu
ini lebih banyak berupa 'tacit knowledge' yang justru jarang dituliskan di
buku-buku. Penelitian terhadap penerbitan buku sendiri sangat minim di
Indonesia dari berbagai disiplin ilmu.
Mengapa saya masih bertahan mengajar di Polimedia meskipun
tertatih-tatih mengatur waktu? Bahkan, bersua dengan sebagian besar mahasiswa
culun yang juga masih bingung mengapa mereka masuk Prodi Penerbitan. Jawabannya
karena lewat mengajar paling tidak saya dapat menurunkan ilmu kanuragan
penerbitan ke 1-2 orang mahasiswa. Mengajar membuat saya belajar lagi.
Saya insaf, dunia saya kini memang ada di hulu penerbitan
buku di sisa usia yang insyaallah masih dapat berkontribusi. Jadi, mari insaf
berjemaah.
Dan akhirnya semoga membuka wacana kita untuk kitab isa menerbitkan
buku kita sendiri. Sekian resume dari saya semoga bermanfaat
terimakasih